Efektivitas
Social Skill Training (SST) dalam
Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa SD Kelas Akselerasi
(Effectiveness of Social Skill Training (SST)
to Increase Social Adjustment Ability among Elementary Students Acceleration
Class)
Anita Basmaria Chantika Denali Ezzah Fitrah
Sumatera Utara Sumatera
Utara Sumatera Utara
Anita Basmaria, Ezzah
Fitrah.; Departemen Psikologi Contoh, Fakultas Contoh, Universitas Contoh,
Medan, Indonesia
Chantika Denali;
Departeman Psikologi Contoh, Fakultas Contoh, Universitas Contoh, Medan,
Indonesia
Jumlah
Kata: 4.823
Korespondensi mengenai
penelitian ini dapat dilayangkan kepada Anita Basmaria, email : anita.basmaria@example.com
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas social
skill training (SST) untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa
SD kelas akselerasi. Dengan metode eksperimen dan rancangan penelitian pretest post test control group design
diketahui bahwa social skill training
(SST) efektif untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa SD kelas
akselerasi. Hasil penelitian ini mengindikasikan pentingnya pihak sekolah
memberikan social skill training
(SST) secara berkala kepada siswa SD kelas Akselerasi agar siswa memiliki
kemampuan penyesuaian sosial yang baik sehingga siswa tidak hanya sukses secara
akademis, namun juga mampu berinteraksi dan diterima oleh lingkungannya.
Kata
Kunci: social skill training (SST), penyesuaian sosial, siswa akselerasi
ABSTRACT
This research aimed to determine the effectiveness
of social skills training (SST) in order to increase social adjustment ability among elementary students acceleration
class. The method used in this study was experimental method and design pretest
posttest control group design. The result showed that social skills training
(SST) was effectively to increase social adjustment ability of elementary
students acceleration class. Implication of this study is to contribute to
school management in enhancing student social adjustment ability through social
skills training.
Keywords: social skill training (SST), social
adjustment, acceleration students
Efektivitas
Social Skill Training (SST) dalam
Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Sosial Siswa SD Kelas Akselerasi
Pendahuluan
Program pendidikan merupakan aspek penting yang
harus dipertimbangkan karena akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial
siswa berbakat (Hoogeveen, Hell, & Verhoeven, 2011). Akselerasi [L1] yang
bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan keberbakatan siswa pada awalnya
dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi siswa
dengan intelektualitas yang tinggi (Hawadi, 2004; Kulik, 2004; Rinn, 2006),
pada kenyataannya menghambat kemampuan penyesuaian sosial siswa (Hoogeveen
dkk., 2005, 2009, 2011; Southern, Jones, & Fiscus, 1989, (Widyasari, 2008;
Susilowati, 2013), apalagi bagi siswa SD (Kulik, 2004; Robinson, 2008; Yanti
& Hurriyati, 2013). Adanya labelling
dari lingkungan sekitar terhadap siswa akselerasi (Iswinarti, 2002), kurangnya
pengetahuan guru dan orang tua tentang kebutuhan sosial- emosional anak
(Moltzen, 2004; Needham, 2012; Robinson, 2004), dan program pendidikan yang
hanya memfokuskan pada pengembangan intelektual anak, mengabaikan kebutuhan
sosial dan kesiapan mental anak dalam penyesuaian sosial, membuat perkembangan
sosial-emosional anak menjadi terhambat (Wandasari, 2011; Hoogeveen dkk, 2009,
2011; Kulik, 2004; Gunarsa, 2004; Agmarina, 2010). Padahal[L2] ,
kemampuan penyesuaian sosial sangat dibutuhkan oleh siswa akselerasi dalam
menjalani hidupnya sehari-hari agar bisa diterima oleh lingkungan sosial. ([L3] Papalia,
Olds, & Feldman, 2007; Hurlock, 1999). Dalam [L4] penyesuaian
sosial, siswa akselerasi membutuhkan keterampilan-keterampilan sosial (Nurdin,
2009; Hurlock, 1999).
Individu [L5] dengan
keterampilan sosial yang tinggi akan memperoleh banyak manfaat dalam kehidupannya.
Mereka [L6] akan
lebih mudah menerima dukungan sosial dan menunjukkan level penyesuaian
psikologis yang lebih baik, memiliki self-esteem
yang lebih baik (Riggio & Carney, 2003), dan meningkatkan prestasi akademis
(Riggio & Carney, 2003; Elliot, Malecki, & Demaray, 2001). M[L7] elalui
penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa pemberikan social skill training (SST) efektif untuk meningkatkan kemampuan
penyesuaian sosial siswa SD kelas Akselerasi.
Penyesuaian Sosial dan Siswa
Akselerasi
Penyesuaian sosial merupakan kemampuan atau
kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar terhadap
realita, situasi, dan hubungan sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat
terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan (Schneiders, 1964;
Kartono, 1989).
Menurut Schneider (1964) aspek – aspek penyesuaian
sosial adalah sebagai berikut:
a.
Penyesuaian
sosial terhadap keluarga
Penyesuaian sosial
yang baik terhadap lingkungan keluarga memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
1)
Adanya hubungan yang sehat antar anggota
keluarga, tidak ada penolakan (rejection) orang tua terhadap anak –
anaknya, tidak ada permusuhan, rasa benci atau iri hati antar anggota keluarga.
2)
Adanya penerimaan otoritas orang tua, hal ini
penting untuk kestabilan rumah tangga dan anak wajib menerima disiplin orang
tua secara logis.
3)
Kemampuan untuk mengemban tanggung jawab dan penerimaan
terhadap pembatasan atau larangan yang ada di dalam peraturan keluarga.
4)
Adanya kemauan saling membantu antara anggota
keluarga baik secara perorangan maupun kelompok.
5)
Kebebasan dari ikatan secara emosional secara
bertahap dan menumbuhkan rasa mandiri.
b.
Penyesuaian
sosial terhadap lingkungan sekolah
Penyesuaian sosial
yang baik terhadap lingkungan sekolah memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
1)
Adanya perhatian, penerimaan, minat dan
partisipasi terhadap fungsi dan aktivitas sekolah.
2)
Adanya hubungan yang baik dengan komponen
sekolah seperti guru, dan teman sebaya.
c.
Penyesuaian
sosial terhadap lingkungan masyarakat
Penyesuaian sosial
yang baik terhadap lingkungan masyarakat memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
1)
Mengenal dan menghormati orang lain di sosial
2)
Bergaul dengan orang lain dan mampu
mengembangkan sifat bersahabat, keduanya diperlukan untuk penyesuaian sosial
yang efektif.
3)
Penyesuaian sosial yang menarik dan dukungan
untuk kesejahteraan orang lain.
4)
Bersikap hormat terhadap hukum, tradisi, dan
adat istiadat. Adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati peraturan dan
tradisi yang berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima dengan baik
dilingkungannya
Akselerasi adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menjalani kurikulum yang ada dengan lebih cepat dengan waktu belajar di
sekolah lebih lama daripada siswa regular (Heward, 1996). Konsekuensinya [L8] kesempatan
siswa akselerasi untuk bermain dan bergaul dengan anak seusianya dan lingkungan
sekitarnya menjadi berkurang, bahkan tidak terpenuhi sama sekali. Siswa [L9] akan
kehilangan kesempatan untuk melakukan aktivitas sosial penting yang tepat usianya. Hal [L10] ini menyebabkan mereka kehilangan
kesempatan tersebut dan akan mengarahkannya dalam social maladjustment selaku orang dewasa kelak. Mereka akan
mengalami hambatan dalam bergaul dengan teman sebayanya (Hawadi, 2004; Southern
dan Jones 1991).
Penyesuaian sosial penting bagi siswa
dalam menjalani tantangan hidup bermasyarakat bahkan pada dunia kerja kelak
saat siswa akseleran dewasa. Kemampuan [L11] penyesuaian sosial
seseorang dipengaruhi oleh proses perkembangan, dimana seseorang belajar
pola-pola penyesuaian sosial melalui belajar dan pengalaman (Schneiders, 1964).
Lingkungan [L12] masyarakat dan teman
sebaya merupakan tempat individu bergerak, bergaul dan melakukan peran sosial
yang akan menjadi sarana bagi individu untuk belajar menyesuiankan diri dan
memahani harapan-harapan lingkungan. Selain [L13] itu, sekolah juga
mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola penyesuaian siswa.
Sekolah [L14] adalah lingkungan
sosial yang kedua yang banyak berdampak pada siswa. Namun [L15] bagi siswa akseleraran
yang dituntut secara akademis maka sekolah hanyalah tempat belajar untuk
mencapai nilai akademis saja dan kesempatan siswa kaseleran untuk berinteraksi
juga sangat terbatas.
Apalagi [L16] adanya pelabelan
sebagai kelas khusus, yaitu kelas akselerasi membuat mereka hanya berinteraksi
dengan teman-teman sekelasnya.
Social
Skill Training
(SST) dan Akselerasi
Keterampilan sosial
merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki seseorang untuk membantu
menjalankan aktivitas di lingkungan sosial yang ditentukan dari proses belajar,
tingkat intelektual untuk menghindari perilaku maladaptif, dan permasalahan
sosial (Smiroldo & Bamburg, dalam Matson 2002). Siswa [L17] yang memiliki keterampilan
sosial yang baik akan mampu mengingat, mengirimkan, dan mengatur
informasi-informasi verbal dan non verbal dalam melakukan interaksi sosial yang
positif dan adaptif (Riggio, 1986).
Social Skill Training (SST) adalah salah satu intervensi dengan teknik modifikasi
perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip bermain peran, praktek, dan umpan
balik guna meningkatkan keterampilan sosial bagi individu yang sulit
berinteraksi, dan mengalami social phobia
(Stuart, 2009; Vacarolis, 2010; Kneisl, 2004). S[L18] ST merupakan modalitas
pendidikan yang telah digunakan secara luas di sekolah. SST [L19] termasuk pelatihan
untuk keterampilan komunikasi secara asertif, psikososial atau pelatihan
keterampilan antar pribadi, keterampilan berhubungan secara sosial, independen
dan keterampilan hidup bermasyarakat, dan pemecahan masalah sosial (Cornish
& Ross, 2004).
Keterampilan [L20] sosial siswa akselerasi
akan mempengaruhi kemampuan siswa akselerasi tersebut dalam melakukan
penyesuaian sosial (Hurlock, 1999; Allen dan Hauser, dalam Doyle dan Moretti,
2000; Elksnin dan Elksnin, dalam Adiyanti, 1999).
Menurut
Ramdhani (2002) pelaksanaan SST dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu:
a.
Modelling,
yaitu penyajian model dalam melakukan suatu keterampilan yang dilakukan oleh
terapis,
b.
Role
play,
yaitu tahap bermain peran dimana subjek mendapat kesempatan untuk memerankan
kemampuan yang telah dilakukan oleh terapis sebelumnya,
c.
Performance
feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik
harus diberikan segera setelah subjek mencoba memerankan seberapa baik
menjalankan latihan,
d.
Transfer
training, yakni tahap pemindahan keterampilan yang diperoleh
subjek ke dalam praktek sehari-hari.
Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan,
pada penelitian ini akan dikembangkan modul SST pada siswa SD kelas akselerasi
yang mengalami masalah dalam penyesuaian sosial dengan tahapan pelaksanaan SST
mengacu pada pendapan Ramdhani (2002), yaitu melatih keterampilan sosial dengan
tahapan modelling, role play, feed back, dan transfer
training.
Penyesuaian Sosial dan Social Skill Training (SST)
Doyle
dan Moretti (2000) menyatakan bahawa proses penyesuaian sosial pada anak
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu keterlibatan orangtua, kontrol perilaku
yang dihubungkan dengan kompetensi sosial, sikap positif yang berkaitan dengan
sekolah dan pekerjaan, self esteem dan prestasi akademik. Kompetensi [L21] sosial itu sendiri merupakan
keahlian individu dalam bidang sosial. Menurut [L22] Elksnin dan Elksnin (1999)
keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial. Artinya [L23] untuk dapat dikatakan memiliki
kompetensi sosial, individu harus memiliki ketrampilan sosial. Hurlock [L24] (1999) menyatakan bahwa penyesuaian
diri yang baik dipengaruhi oleh ketrampilan sosial seperti:
- Kemampuan
untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain,
- Kemampuan
menjalin hubungan baik terhadap teman maupun orang yang tidak dikenal,
- Kemampuan
menjalin hubungan baik sehingga sikap orang lain terhadap mereka
menyenangkan.
Keunikan
Penelitian
Penelitian tentang efektivitas
sosial
skill training [L25] (SST) untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian
sosial siswa SD kelas Akselerasi belum banyak diteliti di Indonesia. Adapun [L26] penelitian yang serupa, namun SST
yang diberikan hanya sebatas menyuguhkan pengetahuan tentang keterampilan
sosial secara umum tanpa adanya role play
dan umpan balik yang terukur. Sedangkan [L27] pada penelitian ini peneliti
merancang sebuah modul dengan target, role play [L28] dan umpan balik yang terukur.
Dimana [L29] pada setiap sesinya memiliki target
keterampilan yang akan diajarkan kepada setiap subjek. Masing[L30] -masing subjek juga harus
mempraktekkan setiap keterampilan yang diajarkan. Selain [L31] itu pada penelitian ini peneliti
juga melakukan follow up terhadap
keberhasilan eksperimen dan implikasinya terhadap kehidupan subjek setelah penelitian.
Metode
Partisipan
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 12 siswa kelas akselerasi
yang memiliki skor penyesuaian sosial yang rendah. Kemampuan [L32] penyesuaian sosial yang
rendah diperoleh berdasarkan hasil pengukuran skala penyesuaian sosial.
Selain [L33] itu pemilihan subjek
juga didasarkan pada hasil observasi, wawancara dengan wali kelas siswa dan
wawancara dengan siswa.
Alat
Ukur
Alat
ukur dalam penelitian ini adalah skala. Skala yang [L34] akan digunakan dalam penelitian ini
merupakan skala penyesuaian sosial yang disusun sendiri oleh peneliti.
Semua [L35] aitem disusun dalam bentuk skala Likert
empat titik (1 = sangat tidak setuju – 4 = sangat setuju untuk
aitem favorable dan sebaliknya untuk aitem unfavorable. Penyusunan skala
ini mengacu pada aspek-aspek penyesuaian sosial yang dikemukakan oleh
Schneiders (1964) terdiri dari tiga aspek yang mencakup: penyesuaian terhadap lingkungan
rumah (16 aitem, e.g., Saya sering bercerita kepada orang tua tentang masalah
yang saya hadapi, Saya sering berbeda pendapat dengan saudara kandung),
penyesuaian terhadap lingkungan sekolah (17 aitem, e.g., Saya mengikuti
perintah guru meskipun guru tersebut tidak mengajar di kelas saya, Saya lebih
banyak bermain bersama teman saat siswa lainnya melakukan gotong royong), dan
penyesuaian terhadap lingkungan masyarakat (17 aitem, e.g., Saya cuek saja saat
ada orang lain berbicara kepada saya tentang sesuatu, Saya senang menolong
tetangga yang mengalami kesulitan). Sebelum skala [L36] digunakan, skala diujicobakan dan
dianalisis secara statistik agar mendapatkan skala dengan aitem-aitem yang
valid dan reliable.
Hasil [L37] analisis menunjukan bahwa alat ukur
yang disusun memiliki reliabitas
0,926 dan indeks daya beda aitem yang bergerak dari nilai 0,311 sampai 0,627
dengan jumlah aitem sebanyak 50. Untuk validitas, skala ini disusun berdasarkan profetional jugsments dari dua orang
dosen pembimbing, uji coba bahasa yang digunakan, dan layout skala dibuat
sedemikian rupa sehingga menarik untuk dibaca serta skala diprint dengan kertas
yang berwarna.
Prosedur
Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap pengolahan data.
1.
Tahap Persiapan
a.
Menyusun skala penyesuaian sosial
b.
Mengurus
surat-surat untuk kepetingan perizinan penelitian
c.
Uji
coba bahasa yang digunakan dalam skala penyesuaian sosial
d.
Uji
coba skala penyesuaian sosial
e.
Menganalisis
hasil uji coba skala penyesuaian sosial
f.
Menyusun
norma kategorisasi skala penyesuaian sosial
g.
Menyusun modul social skill training (sst)
h.
Uji
coba dan evaluasi modul sst
i.
Seleksi
subjek penelitian
j.
Penyusunan
rancangan eksperimen
2.
Tahap
pelaksanaan penelitian
Pengambilan data penelitian dengan menggunakan skala penyesuaian sosial
dilakukan pada tanggal 30 April 2015. Skala [L38] diisi oleh 23 siswa SD kelas akselerasi. Skala [L39] yang telah diisi kemudian dianalisis dan diperoleh
skor penyesuaian sosial.
Dari [L40] skor penyesuaian sosial peneliti memilih 12 siswa yang
memiliki skor lebih rendah dari pada 11 orang siswa lainnya. Hasil pengisian
skala penyesuaian sosial ini sekaligus merupakan pretest bagi 12 siswa yang telah dipilih menjadi subjek penelitian.
Kemudian [L41] peneliti menjelaskan mengenai tujuan penelitian,
bentuk kegiatan dan rencana jadwal pelatihan kepada 12 orang subjek serta
memberikan surat persetujuan menjadi subjek penelitian (informend consent) yang diisi oleh subjek sendiri. Persetujuan [L42] ini tidak diberikan kepada orang tua subjek dengan
pertimbangan dan saran dari kepala sekolah dan wali kelas bahwa selama dalam
waktu proses belajar mengajar subjek adalah tanggung jawab pihak sekolah.
Selain [L43] itu hal ini juga untuk memudahkan karena tidak semua
orang tua bisa datang ke sekolah.
Guna mempermudah proses pelatihan dan untuk menjaga kondisi alamiah pada
subjek, kegiatan pelatihan (pemberian perlakuan) dilakukan di sekolah dan di
kelas subjek sehari-hari, yaitu kelas akselerasi. Hal [L44] ini dapat terwujud karena dukungan penuh dari kepala
sekolah dan wali kelas subjek. Selain itu penggunaan kelas akselerasi tersebut
juga dengan pertimbangan untuk mengontrol extranous
variable karena hanya kelas akselerasi tersebut yang dilengkapi oleh
proyektor, AC, pencahaan yang baik, dan cukup luas untuk melakukan aktivitas
pelatihan.
Proses pelaksanaan pelatihan dilakukan
selama 3 hari, yaitu tanggal 26 – 28 Mei 2015. Pada setiap harinya pelatihan
mulai dari jam 09.00 hingga jam 15.00. Hal [L45] ini berbeda dengan rencana awal. Pada [L46] modul pelatihan dirancang dengan 5 kali pertemuan dengan total waktu 11
jam 30 menit, yaitu setiap pertemuan memerlukan waktu 2 hingga 2 jam 30 menit.
Pemadatan materi pelatihan ini terjadi karena adanya ketidakcocokan waktu yang
dimiliki oleh subjek dan ketersediaan waktu yang dimiliki oleh fasilitator
utama dan pendamping. Selain itu, juga mengingat subjek yang akan mengikuti
ujian akhir semester.
3.
Tahap analisis data
Setelah diperoleh data dari skala
penyesuaian sosial, wawancara, observasi, lembar tugas, tugas rumah, dan follow up 1 minggu setelah pelatihan,
maka dilakukan pengolahan data. Data [L47] yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua
jenis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data [L48] kuantitatif diperoleh dari hasil skala penyesuaian
sosial pada saat pretest dan post test dari kelompok eksperimen dan kontrol.
Sedangkan [L49] data kualitatif diperoleh dari wawancara, observasi,
lembar tugas, tugas rumah, dan follow up dari
kelompok eksperimen.
Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program SPSS for
windows 16.0 version. Teknik [L50] analisis data yang digunakan adalah analisis statistik
non parametrik Mann-Whitney.
Proses penerimaan hipotesis penelitian (H1)
dan menolak hipotesis nihil (H0) ditentukan dari perbandingan hasil
uji Mann-Whitney dengan tingkat
kepercayaan 95 % (α = 0,05). Oleh [L51] karena itu, jika nilai signifikansi (p) dari hasil uji Mann-Whitney lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) maka H1
diterima dan H0 ditolak. Artinya Social
Skill Training efektif dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial
siswa SD kelas akselerasi.
Hasil
Hasil uji komparatif (Mann Whitney) terhadap
data penelitian penyesuaian sosial pada
saat pretest menunjukkan bahwa tidak
adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol (p > 0,05). Artinya [L52] tidak terdapat perbedaan tingkat
kemampuan penyesuaian sosial antara kelompok eksperimen dan kontrol sebelum SST
diberikan.
Sebaliknya[L53] , terdapat perbedaan yang
signifikan (p < 0,05) pada data post test. Hal [L54] ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan tingkat penyesuaian sosial antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol setelah diberikan SST. Rangkuman [L55] hasil uji komperatif (Mann-Whitney)
[L56] dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:
Tabel Hasil Uji Mann-Whitney
antara Pretest dan Post Test
Data
|
U
|
P
|
Z
|
R
|
Pretest
|
11
|
0,144
|
-1,123
|
-0,458
|
Post Test
|
5
|
0,017
|
-2,085
|
-0,851
|
Berdasarkan
hasil analisis data kelompok, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0)
ditolak. Dengan kata lain hipotesis penelitian (H1) diterima.
Artinya[L57] , Social Skill Training (SST) efektif dalam meningkatkan kemampuan
penyesuaian sosial siswa SD kelas akselerasi.
Diskusi
Berdasarkan hasil analisis data kelompok diketahui
bahwa pemberian perlakuan Social Skill
Training (SST) kepada subjek kelompok eksperimen efektif dalam meningkatkan
kemampuan penyesuaian sosial subjek. Hal ini [L58] terlihat setelah subjek mendapatkan
pelatihan keterampilan sosial, keterampilan sosial subjek semakin meningkat.
Keterampilan [L59] ini terlihat dari skor penyesuaian
sosial subjek yang yang semakin tinggi. Hal ini [L60] sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa keterampilan sosial seseorang dapat
mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosialnya. Seseorang [L61] yang memiliki keterampilan sosial
yang tinggi akan memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tinggi pula.
Apabila [L62] seseorang memiliki keterampilan
sosial seperti, kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan
orang lain, kemampuan menjalin hubungan baik terhadap teman maupun orang yang
tidak dikenal, kemampuan menjalin hubungan baik sehingga sikap orang lain
terhadap mereka menyenangkan, maka seseorang tersebut akan mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik pula.
Berikut beberapa alasan yang dapat menjelaskan social skill training (SST) dapat
meningkatkan kemampuan penyesuaian siswa SD kelas akselerasi. Pertama[L63] , keberhasilan pelatihan
keterampilan sosial ini dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial subjek
sesuai dengan tujuan dirancangnya pelatihan keterampilan sosial yang
dikemukakan oleh beberapa tokoh. MqQuaid (2000) menyatakan bahwa SST dirancang
untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial bagi
seseorang yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi meliputi keterampilan
memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju, menolak permintaan orang lain,
tukar menukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran pada orang lain,
memecahkan masalah yang dihadapi, dan bekerja sama dengan orang lain. Eikens
(2000) juga menyatakan hal yang hampir sama, yaitu SST dapat meningkatkan
kemampuan seseorang untuk mengekspresikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan,
Mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah, mampu memberikan respon
yang tepat saat berinteraksi sosial, mampu memulai interaksi, dan mampu
mempertahankan interkasi yang telah terbina
Kedua, apabila
dilihat dari sisi pelaksanaannya, SST akan efektif apabila dilakukan dengan
tahapan yang benar.
Oleh [L64] karena itu efektivitas SST dalam
penelitian ini tidak terlepas dari tahapan pelaksanaannya. Pada [L65] penelitian ini pelaksanaan SST
dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu pertama subjek diperlihatkan pada contoh
atau model dari suatu keterampilan yang akan diajarkan, kemudian subjek diminta
untuk mempraktekkan keterampilan tersebut. Setelah [L66] subjek mempraktekkan subjek
kemudian diberi feedback dan mempraktekkan
berulang kali hingga benar. Pada [L67] bagian terakhir subjek diminta
untuk mempraktekkan keterampilan yang sudah diajarkan pada kehidupan sehari-hari. Hal [L68] ini sesuai dengan tahapan yang
dikemukakan oleh Ramdhani (1995), yaitu pelaksanaan SST efektif apabila
dilakukan melalui 4 tahapan: pertama, modelling,
yaitu penyajian model dalam melakukan suatu keterampilan yang dilakukan oleh terapis.
Kedua [L69] role
play,
yaitu tahap bermain peran dimana subjek mendapat kesempatan untuk memerankan
kemampuan yang telah dilakukan oleh terapis sebelumnya. Ketiga[L70] , performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Dan [L71] yang keempat, transfer training, [L72] yakni tahap pemindahan keterampilan
yang diperoleh subjek ke dalam praktek sehari-hari.
Ketiga, efektivitas SST
dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa SD kelas akselerasi tidak
terlepas dari kemampuan inteligensi subjek. Subjek [L73] yang merupakan siswa SD kelas
akselerasi memiliki tingkat inteligensi yang berkisar antara diatas rata-rata
hingga superior.
Hal [L74] ini didukung oleh pendapat Cotugno
(2009) yang menyatakan bahwa efektivitas SST tergantung pada tingkat
intelektual anak yang diberikan. Hal [L75] ini terkait dengan kemampuan anak
untuk menggunakan regulasi emosi, keterampilan dasar yang sudah ada, dan kemampuan
rekognitif terhadap objek lebih baik, sehingga program yang diberikan mudah
dipahami dan diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik untuk
meneliti mengenai efektivitas social
skill training (SST) dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa
SD kelas akselerasi, peneliti menyarankan:
a. Kemampuan
penyesuaian sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, khususnya
orang tua.
Oleh [L76] karena itu peneliti selanjutnya
sebaiknya memberikan pengetahuan kepada orang tua tentang pentingnya
keterampilan sosial bagi anak dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial
anak agar anak mampu bersosialisasi dengan lingkungannya sesuai dengan norma
yang berlaku.
b. Penelitian
ini hanya menggunakan subjek dengan jumlah kecil dan hanya dari satu sekolah
sehingga generalisasi hasil penelitian pada populasi harus dilakukan secara
berhati-hati.
Oleh [L77] karena itu untuk hasil yang lebih
akurat dan generalisasi yang lebih luas dalam melihat efektivitas Social Skill Training (SST) dalam
meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa SD kelas akselerasi, peneliti
selanjutnya dapat menggunakan subjek dengan jumlah yang lebih banyak dan dari
beberapa sekolah yang memiliki kelas akselerasi.
c. Rancangan
penelitian ini hanya menggunakan sekali pengukuran setelah perlakuan diberikan,
sehingga kemampuan subjek dalam mempertahankan perlakuan atau mengembangkan
perlakuan yang telah diberikan dalam jangka waktu tertentu tidak dapat diketahui.
Oleh [L78] karena itu sebaiknya peneliti
lanjutan dapat melakukan pengukuran berulang setelah perlakuan diberikan untuk
melihat efektivitas perlakuan dan generalisasi perlakuan dalam kehidupan
sehari-hari.
d. Proses
pengumpulan data secara observasi dan wawancara pada penelitian ini sangat terbatas.
Peneliti [L79] tidak mendapatkan data yang lengkap
dari semua subjek, seperti peneliti tidak dapat mewawancarai semua orang tua
subjek dan peneliti hanya melakukan observasi pada aktivitas subjek saat di sekolah. Oleh
[L80] karena itu peneliti selanjutnya
dapat mengumpulkan data observasi dan wawancara secara lengkap, seperti
melakukan obsevasi saat anak di rumah dan di lingkungan masyarakat, melakukan
wawancara kepada orang tua dan subjek secara lebih mendalam sehingga dinamika
penyeusian sosial pada diri subjek dapat terlihat dengan jelas.
e. Waktu
pelaksaan pemberian perlakuan yaitu social
skill training (SST) yang seharusnya dalam rancangan modul materi diberikan
dalam 5 kali pertemuan dengan setiap pertemuan berkisar antara 2 hingga 2 jam
30 menit dipadatkan menjadi 3 kali pertemuan dengan lamanya waktu setiap
pertemuan sekitar 6 jam.
Dengan [L81] kata lain materi dan keterampilan
yang diajarkan kepada subjek setiap pertemuannya menjadi lebih banyak. Hal ini membuat subjek kurang maksimal dalam
menjalani pelatihan karena kelelahan. Hal ini juga membuat dua tugas yang
harusnya dikerjakan subjek secara tertulis dan dipraktekkan, pada
pelaksanaannya hanya dengan cara diskusi dan dipraktekkan. Selain [L82] itu, tugas rumah yang seharusnya
dikerjakan subjek setiap harinya juga menjadi lebih banyak sehingga subjek
kurang optimal dalam mengerjakannya. Apalagi dengan waktu subjek yang terbatas.
Oleh [L83] karena itu, untuk peneliti
selanjutnya agar lebih dapat merencanakan waktu pelaksanaan dengan baik dan
mempersiapkan segala kebutuhan pelatihan jauh sebelum pelatihan akan diberikan
agar hasil pelatihan lebih efektif.
Referensi
Adams-Byers, J., Whitsell,
S.S., & Moon, S.M. (2004). Gifted students’ perceptions of the academic and social/emotional
effects of homogeneous and heterogeneous grouping[L84] . Gifted Child Quarterly, 48(1), 7-20.[L85]
Agmarina, Zahra. (2010). Hubungan dukungan sosial teman sebaya reguler dengan penyesuaian sosial
pada siswa kelas enam akselerasi [L86] SD Bina
Insani Bogor (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Diponegoro, Semarang.[L87]
Anantasari, M.L. (1997). Hubungan antara persahabatan dengan penyesuaian sosial pada remaja (Skripsi tidak diterbitkan[L88] ). Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Azwar, Saifuddin. (2007). Tes
prestasi: fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar (Cetakan
kesepuluh). [L90] Yogyakarta: Pustaka Pelajar[L91] .
Azwar, Saifuddin. (2009). Penyusunan
skala psikologi [L92] (Cetakan keduabelas). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.[L93]
Bain S.K., & Bell, S.M.
(2004). Social self-concept, social
attributions, and peers relationships in fourth, fifth, and sixth graders who
are gifted compared to high achievers. [L94] Gifted Child
Quarterly, 48(3), 167-178. [L95]
Bain, S.K., Choate, S.M.,
& Bliss, S.L. (2006). Perceptions of developmental, social, and emotional issues in
giftedness: Are they realistic? Roeper Review[L96] , 29(1), 41-48[L97]
Baker, J.A. (1995). Depression and suicidal
ideation among academically talented adolescents. [L98] Gifted Child
Quarterly, 39 (4), 219-223.[L99]
Cartledge, C., &
Milbun, J.F. (1995). Teaching social skills to
children and youth inovative approach [L100] (3th ed.). [L101] Massachusetts: Allyn and
Bacon.[L102]
Clark, B. (2002). Growing up gifted [L103] (6th ed.). [L104] Upper Saddle River, NJ:
Merrill Prentice Hall.[L105]
Cornish, U., & Ross, F.
(2004). Social Skill Training for adolescents with general moderate learning
difficulties.[L106] London and New York:
Jessica Kingsley Publishers.[L107]
Corso, R. M. (2007). Practices for enhancing
children’s social- emotional developmentand preventing challenging behavior[L108] . Gifted Child Today, 30
(3), 22-31.[L109]
Cotugno, A.J. (2009). Group interventions with children with [L110] Autism Spectrum Disorders. London: Jessica Kingsley
Publishers.[L111]
Davis, G. A., & Rimm,
S. B. (2004). Education of the gifted and talented [L112] (5th ed.).[L113] Boston: Pearson.[L114]
Elliot, Malecki, &
Demaray. (2001). Educational Psychology (Effective Teaching Effective
Learning). Singapore: McGraw-Hill.[L115]
Elksnin, L. K., &
Elksnin, N. (1998). Teaching social skills to students with learning and behavior problems[L116] . Intervention in School
and Clinic, 33(3),131-140.[L117]
Ferguson,
S.A.K. (2006). A case for affective education:
Addressing the social and emotional needs of gifted students in the classroom.[L118] Virginia
Association for the Gifted Newsletter,
pp 1[L119] -3.[L120]
Gross, M.U.M. (1994).
Responding to the social and emotional needs of gifted children. [L123] Proceeding. Presented in
The 5th National Conference for the Education of the Gifted and Talented, 28-30
April, Perth, Western Australia[L124] .
.[L125] Gunarsa, S.D. (2004). Bunga rampai psikologi perkembangan “Dari
Anak sampai usia [L126] Lanjut”. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
Hamm, C.J. (2010). Differences in academic, affect, competence, and social selfconcepts in
homogeneously and heterogeneously grouped gifted students [L129] (Unpublished doctoral
dissertation). Western Carolina University, Amerika Serikat[L130] .
Hapsari. 2010. Efektivitas pelatihan ketrampilan sosial pada remaja dengan kecemasan
sosial [L131] (Tesis tidak diterbitkan).
Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta[L132] .
Hawadi, R. A. (2004). Akselerasi:
A-Z informasi program percepatan belajar
dan anak berbakat intelektual. [L133] Jakarta: PT Gramedia.[L134]
Heward, W.L. (1996). Exceptional children: An introduction to special education [L135] (5th ed[L136] .). New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.[L137]
Hoogeveen, L., van Hell, J.
G., & Verhoeven, L. (2011).Social-emotional characteristics of gifted accelerated and
non-accelerated students in the Netherlands[L138] . British Journal of
Educational Psychology, 1-21.[L139]
Hoogeveen, L., van Hell, J.
G., & Verhoeven, L. (2009). Self-concept and social status of accelerated and non-accelerated
students beginning secondary school in the [L140] Netherlands. Gifted
Child Quarterly, 53, 50–67.[L141]
Hoogeveen, L., van Hell, J.
G., & Verhoeven, L. (2005). Teacher attitudes toward accelerated students in the Netherlands[L142] . Journal for the
Education of the Gifted, 29, 30–59.[L143]
Iswinarti. (2002). Penyesuaian sosial anak gifted[L145] . Anima Indonesian
Psychological Journal, 18 (1), 71-79.[L146]
Jones, E. D., &
Southern, W. T. (1991). Objections to early
entrance and grade skipping[L147] . New York: Teachers
College Press.[L148]
Kerlinger, N.F. (2002). Asas-asas
Penelitian Behavioral (Edisi ketiga). Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.[L149]
Kesner, J.E. (2005). Gifted children's
relationship with teachers[L150] . International
Education Journal, 6 (2), 218-223.[L151]
Kulik, J. (2004). Meta-analytic studies of acceleration. [L152] Lowa City, Iowa: The Connie
Belin & Jacqueline N. Blank International Center for Gifted Education and
Talent Development.[L153]
Liberman, R.P. (2007). Dissemination and adoption
of social skill training: Social Validation of an evidance-based treatment for
the mentally disabled[L154] . Journal of menta l
health, 16 (15), 595-623.[L155]
Lovecky, D.V. (1995). Highly gifted children
and peer relationship[L156] . Counselling and
Guidance Newsletter, 5 (3), 6-7.
McQuaid. (2000). Development of integrated
cognitive-behavioral and sosial sklill training intervensi for older patients
with schizophrenia. The journal psychotherapy practice and research, [L158] 9(3), 149-156.[L159]
Miltenberger, R.G. (2004). Behavior
modification : Principles and procedures [L160] (3th ed.). [L161] Belmond : Wadsworth[L162] .
Mitchel, M.L., &
Jolley, J.M. (2007). Research design explained[L163] . California: Wadsworth[L164] .
Moltzen, R. (2004). Maximising the potential of
the gifted child in the regular classroom: A professional development issue. [L165] In Gifted Education
International, 13, 36-46. Great Britain:
A.B. Academic Publishers.[L166]
Myers, A. & Hansen, C.
(2006). Experimental psychology international student [L167] (6th ed[L168] ). United States of
America: Thomson Wadsworth.[L169]
Needham, V. (2012). Primary teachers’
perceptions of the social and emotional aspects of gifted and talented
education. [L170] APEX: The New Zealand Journal of
Gifted Education, 17(1). Retrieved from www.giftedchildren.org.nz/apex[L171] . University of Canterbury[L172]
Nugent, S. A. (2005). Affective education: Addressing the social and emotional needs
of gifted students in the classroom[L173] . In F. A. Karnes & S.
M. Bean (Eds.), Methods
and materials for teaching the gifted [L174] (2nd ed.), [L175] 409–438. Waco, TX: Prufrock
Press.
Nurdin. (2009). Pengaruh kecerdasaan
emosional terhadap penyesuaian sosial siswa di sekolah.[L177] Jurnal administasi pendidikan, 9 (1), 86-108.[L178]
Papalia, D.E., Olds, S.W.,
& Feldman, R.D. (2007). Human development [L179] (9th ed.). [L180] New York: McGraw-Hill.[L181]
Piechowski, M. M. (2006). “Mellow out,” they
say. If I only could: Intensities and sensitivities of the young and bright.
[L182] Madison, WI: Yunasa Books.[L183]
Ramdhani, N. (1995). Pelatihan
Keterampilan Sosial Pada Mahasiswa yang sulit
bergaul [L184] (Tesis tidak diterbitkan).
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.[L185]
Riggio, R.E. (1986). Assesment of basic social
skill. Journal of personality and social psychology, [L186] 51 (3), 649-660[L187]
Rimm, S. (2003). Social adjustment and peer
pressures for gifted children[L189] . Retrieved from http://www.davidsongifted.org.[L190]
Rinn, A. N. (2006). Effects of a summer program
on the social self-concepts of gifted adolescents. [L191] Journal of Secondary Gifted
Education, 17, 65–75.[L192]
Robinson, N. M. (2004). Effects of academic acceleration
on the social-emotional status of gifted students.[L193] In N. Colangelo, S. G.
Assouline, & M.U.M. Gross (Eds.), A nation deceived: How schools hold back
America’s brightest students, [L194] 2, 77–86. Iowa City, IA:
Belin-Blank International Center on Gifted Education and Talent Development[L195] .
Sail, R.M., & Alavi, K. (2010). Social skill and social value
training for future k. workers. Journal
of european industrial training[L196] ,
33
(3), 226-258.
Schneiders, A.A. (1964). Personal
adjustment and mental health. [L198] New York: Holt, Rinehart and
Winston.[L199]
Semiawan, C. (1997). Perspektif pendidikan anak berbakat[L200] . Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.[L201]
Seniati, L., Yulianto, A., &
Setiadi, B.N. (2005). Psikologi eksperimen.[L202] Jakarta: PT INDEKS Kelompok Gramedia.[L203]
Stuart, G.W. (2009). Principles
and practice of psychiatric Nursing
[L208] (8th ed.). [L209] Missouri: Mosby, Inc.[L210]
Susilowati, Endah. (2013). Kematangan emosi dengan
penyesuaian sosial pada siswa akselerasi tingkat SMP[L211] . Jurnal Online Psikologi, 1(1)
101-113[L212]
Versteynen, L. (2005) Issues
in the social and emotional adjustment of gifted children: what does the
literature say[L213] ?. Retrieved from
http://www.giftedchildren.org.nz/apex/v13art04.php[L214]
Wandansari, Yetty. (2011). Faktor protektif pada penyesuaian
sosial anak berbakat[L215] . Jurnal INSAN, 13(2),
85-95.
Wandasari, Yetty. (2004). Peran dukungan orangtua dan guru
terhadap penyesuaian sosial anak berbakat intelektual.[L217] Jurnal Provitae, 1 (1), 29-42.[L218]
Widyasari, C. (2008). Program
pengembangan kompetensi sosial untuk remaja siswa SMA kelas akselerasi[L219] . Diakses dari http//www.file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.../Karya_Ilmiah_8.pdf